Selasa, 04 November 2008

Sikon

Anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah itu. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa para tamu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu itu, anak ini menjadi marah dan sedih.

Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, ter­senyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri me­layani seorang pejabat, menuangkan sendiri minuman sambil membungkuk-bungkuk. "o iya pak..?" ujarnya

Aku marah dan sedih, dan terutama sekali, aku malu sekali menyak­sikan sikap ayahku. Mengapa ayah sampai begitu merendahkan diri? Bukan­kah ayah terkenal seorang yang santun dan berwibawa yang amat kaya raya dan disegani semua orang, hal ini yang menggangu pikiran ku pada saat itu.

Berselang beberapa tahun, aku yang sudah mulai beranjak dewasa baru mengerti bahwa hidup itu haruslah tetap mengerti dan mengetahui situasi dan kondisi (SIKON),
sebagai sebuah upaya untuk berthan hidup di dunia yang makin tak terkendali ini. (MECIK MANGGIS) mungkin itu adalah ungkapan yang sering terungkap pada laku sosial masyarakat kebanyakan. Perlahan namun pasti kejadian beberapa tahun lalu itu juga mulai mengusik kehidupanku. dan hal ini pula yang mengganggu setiap langkah hidup ini.

Terlebih di saat aku sudah menjadi (DCT) salah satu anggota legislatif di daerah tempat trnggalku, aku juga berusaha belajar untuk hidup minimal seperti (bunglon), dan berupaya untuk selalu duduk seirama dengan sikon yang ada. Mecik Manggis memang diperlukan dalam hidup ini, tanpa itu aku rasa ngak sanggup lagi untuk bertahan di tengah kekejaman hidup yang penuh dengan persaingan ini. Siapa yang pintar adalah mereka yang mampu menjadikan diri hebat dengan apa adanya 'tidak lebih', jadi pintar-pintarlah membawa diri di setiap kesempatan," demikian kalimat ayahku, yang tetap kuinga-inga sampai sekarang ini.