Selasa, 01 Juli 2008

Pangkung Gayung

Sungai itu amat luas sekali, dari tepinya tampak seolah-olah bebatuan bertengger angkuh dan kokoh dengan persawahan di sebelahnya yang kelihatan subur penuh dengan sisipan pohon-pohon lebat. Sungai di dusun Pangkung Gayung itu dikelilingi bebukitan yang kaya akan hutan sehingga merupakan cermin besar yang menampung bayangan pohon-pohon di dalamnya, membuat air kali kembar itu kadang-kadang kelihatan hijau jernih. Di waktu matahari naik tinggi, jika kita memandang ke sungai itu, seolah-olah kita berhadapan dengan sebuah dunia ajaib di mana segala-galanya nampak terbalik, dan pohon-pohon gunung-gunung, bahkan langitpun ditelannya! Amat indah pemandangan di sekitar sungai, indah tenteram, penuh suasana damai, sunyi-senyap dan tenang. Sepantasnya tempat seperti itu menjadi contoh penggambaran lingkungan hidup yang didambakan umat manusia jaman sekarang.

Akan tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Keadaan di situ amat sunyi senyap karena memang orang-orang, para penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu, terlena mengeluti pekerjaanya di ladang-ladang. Bagi para petani sungai ini merupakan sumber nafkah bagi ratusan orang penghuni di sekitar daerah dusun Pangkung Gayung itu.

Saat itu bersama keluarga kami mendaki bebukitan di dusun tersebut, disamping menghadiri undangan upacara adat, kami juga sepakat untuk bersantai ria dan menikmati sinar matahai pagi yang baru timbul menyinarkan cahaya keemasannya. Pagi itu, sinar mentari belum menyilaukan pandangan mata dan daun-daun muda di puncak pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan, membuat puncak-puncak pohon menjadi berkilauan penuh seri bahagia, penuh nikmat hidup. Sebagian dari cahaya yang terlampau banyak sehingga tidak tertampung oleh daun-daun di puncak pohon, menerobos melalui celah-celah pohon, melalui ranting dan dahan, membentuk sinar-sinar keputihan dengan garis-garis lurus penuh kekuatan dan daya cipta, sempat menyentuh rumput dan lumut yang tumbuh di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya itu.

Bukanlah berarti bahwa Arjuna harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di puncak gunung, seperti di puncak bukit dusun Pangkung Gayung (sebuah bukit di desa B.B Agung kabupaten Jembrana). masyarakat di sini jus­tru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu menyadari sepenuhnya keagungan alam yang tetap melimpah ataupun dengan memberi kesenangan lahiriah seperti menikmati langkah-langkah kaki tapakannya, mereka sadar, mendaki setiap tanjakan bukit sebagai sarana untuk meyehatkan tubuh mereka adalah kesejatian kehidupannya,yang kerap menyanjung akan kesejatian hidup ini. Kondisi Alam seperti inilah yang kerap Arjuna dambakan sampai kapanpun, salam!

Tidak ada komentar: